“Aku bukan kartini yang dapat
menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Aku adalah seorang ibu yang ingin
anaknya tetap hidup”
Tanah masih basah setelah tadi malam
terguyur oleh hujan yang cukup lebat. Kabut masih terlihat melekat menyeimuti
jalan – jalan desa yang cukup sepi ini. Tetesan embun mengalir bersama peluh
yang keluar dari kening seorang ibu yang baru saja ditinggal suaminya empat
bulan yang lalu. ia sudah memulai pekerjaanya dari dini hari sebelum ayam
berkokok. Sulastri, orang – orang biasa memanggilnya dengan nama lastri.
Semenjak suaminya meninggal ia harus bekerja keras menghidupi anaknya yang masih berusia empat belas tahun. Sekarang ia kelas satu sekolah menengah pertama. Mulanya bekerja serabutan sebagai pembantu, sebagai penjual makanan keliling bahkan ia pernah menjadi penambang pasir. Maklum mayoritas didesa itu orang – orangnya dari perekonomian menengah kebawah. Lastri kerap kerepotan jika anaknya menginginkan ini itu, namun ia jawab saja dengan mengiyakan permintaan anaknya, walaupun ujung – ujungnya tidak pernah terwujud. Sebenarnya seorang ibu mana yang tak ingin mewujudkan apa yang diinginkan anaknya. Ia sudah berusaha, namun apa daya untuk makan sehari – hari dan menyekolahkan anaknya saja sudah dirasa susah. Adzan subuh berkumandang didapur yang kecil itu sudah mengepul asap dari lorong – lorong tungku yang panas. Sekarang sehari – harinya sulastri bekerja menjadi penjual makanan keliling, tidak banyak yang ia jual, ia hanya menjual pecel, beberapa gorengan dan sate telur puyuh. Setelah menyiapkan dagangannya sekarang ia ganti menyiapkan anaknya untuk berangkat sekolah. toni, anaknya memang anak yang bandel dan pemalas, sehingga untuk bangun saja toni harus dibangunkan oleh ibunya berulang – ulang. “toni bangun, sudah siang, ayo berangkat sekolah”.
Semenjak suaminya meninggal ia harus bekerja keras menghidupi anaknya yang masih berusia empat belas tahun. Sekarang ia kelas satu sekolah menengah pertama. Mulanya bekerja serabutan sebagai pembantu, sebagai penjual makanan keliling bahkan ia pernah menjadi penambang pasir. Maklum mayoritas didesa itu orang – orangnya dari perekonomian menengah kebawah. Lastri kerap kerepotan jika anaknya menginginkan ini itu, namun ia jawab saja dengan mengiyakan permintaan anaknya, walaupun ujung – ujungnya tidak pernah terwujud. Sebenarnya seorang ibu mana yang tak ingin mewujudkan apa yang diinginkan anaknya. Ia sudah berusaha, namun apa daya untuk makan sehari – hari dan menyekolahkan anaknya saja sudah dirasa susah. Adzan subuh berkumandang didapur yang kecil itu sudah mengepul asap dari lorong – lorong tungku yang panas. Sekarang sehari – harinya sulastri bekerja menjadi penjual makanan keliling, tidak banyak yang ia jual, ia hanya menjual pecel, beberapa gorengan dan sate telur puyuh. Setelah menyiapkan dagangannya sekarang ia ganti menyiapkan anaknya untuk berangkat sekolah. toni, anaknya memang anak yang bandel dan pemalas, sehingga untuk bangun saja toni harus dibangunkan oleh ibunya berulang – ulang. “toni bangun, sudah siang, ayo berangkat sekolah”.
“ngak mau, males”. Jawabnya
“kenapa bicara seperti itu”.
“ah bawel, toni males, masa sepatu
toni udah dekil seperti itu ibu tidak mau membelikannya lagi, toni malu !”.
“toni, mengertilah perekonomian kita
kan sedang sedikit, semenjak ayahmu meninggal ibu harus bekerja keras untuk
menyekolahkanmu, lagian sepatunya kan masih bisa dipakai”.
“ahhh..,berisik, ibu keluar”. Dengan
mendorong ibuny keluar kamar.
Lastri hanya bisa mengelus dada jika
anaknya sedang kumat seperti ini. Namun kehidupan tidak akan berubah jika ia
tetap saja diam. Kemudian ia membawa barang dagangannya yang tadi sudah ia
siapkan keliling kedesa – desa. Untuk saat ini ia berdagang dengan cara
keliling namun ia mempunyai harapan nantinya mau membangun suatu warung kecil
didekat pasar, kaena dirasa pasar adalah tempat keramaian dan ia yakin
dagangannya akan laku keras disana. Namun biaya sewa tanah yang cukup mahal
sering menggoyahkan keinginan lastri. terik panas matahari menyengat kulitnya,
yang dahulu kuning langsat sekarang sudah agak memudar menjadi kehitaman. Ia tak
peduli semua itu yang ia tahu ia harus menyambung nyawa demi dirinya dan demi
anaknya tercinta. Ia pulang sekitar jam lima sore, dan dagangannya hari ini
cukup laris. Namun setelah sampai dirumah tak ada seorangpun dirumah. “toni
kemana ya”, gumamnya. Kemudian ia membuka celengannya , isinya sudah lumayan
banyak karena setiap keuntungan dari penjualan selalu ia sisihkan demi masa
depan anaknya. “sepertinya sudah bisa untuk menyewa tanah dipasar dan membuat
warung disana”.
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikum salam, eh toni dari mana
saja kamu?. Ibu sudah menantimu dari tadi”.
“apa itu bu?”.
“oh ini, celengan buat warung ibu
dagang dipasar”.
“untuk warung aja ibu punya uang,
untuk beli sepatu ngak ada, ibu jahat !”. toni berlari kekamarnya dan menutup
pintu dengan keras (brak!!).
“toni, toni..maafkan ibu toni”.
Toni kemudian menangis dikamar, ia
merasa seakan ibunya tak pernah menyayanginya beberapa kali ibunya mengetuk
pintu dan meminta maaf, namun ia tak mau membukanya. Bahkan sempat terselinap
dibenak pikirannya bahwa ia adalah anak angkat. Ia hanya terdiam dan meratpi
keadaanya saat ini. Sekali lagi lastri mencoba bersabar dengan semua ini.
Malam kian larut, dan ia tak lupa
untuk melakukan sholat malam, dalam doanya ia meminta untuk kesehatan
keluarganya, rezeki yang halal dan yang baik, dan semoga Allah membukakan
pengertian toni akan keadaan keluarganya sekarang. “Ya Allah...,aku tidak
pernah memaksamu untuk menuruti permintaanku, namun kali ini saja ya Allah, aku
mohon bukakanlah pintu hati toni, buatlah ia mengerti akan arti cintaku padanya.
Hatiku remuk ketika aku tak bisa memenuhi permintaanya, jiwaku sakit ketika aku
melihatnya menangis, kabulkanlah ya Allah”.
Keesokan harinya lastri membelikan
sepatu baru, sengaja ia pulang cepat supaya ia sampai rumah sebelum anaknya
pulang. Ia ingin memberikan kejutan pada toni tentang sepatu barunya hari ini. Tak lama kemudian toni pulang. Ibunya menyambutnya
dengan senyuman hangat, namun bagi toni itu tak berpengaruh.
“toni, coba lihat apa yang ibu bawa”.
Sambil menyodorkan bingkisan yang ada ditangannya.
“apa itu?”. Tanya toni.
“coba dibuka saja”. Kemudian toni
mengambil dan membuka bingkisan itu. Namun dengan kejam toni membuangnya.
“apa itu sepatu murah kayak gitu,
toni gak suka”.
Lastri mengambil sepatunya dan
mencoba menyakinkan toni kalau sepatu itu bagus. Namun toni tetap bersikeras
untuk tidak menerimanya.
“ibu, pokoknya toni minta motor,
masak temen – temen yang lain sudah pada punya motor toni belum punya, kan jauh
bu kalau jalan kaki”.
“kamukan masih kecil, bahaya kalau
naik motor”.
“aaahh, bilang saja kalau ibu ndak
mau membelikan !”.
“uang dari mana untuk membeli motor
toni”.
“kemarin kan dicelengan ibu, udah
banyak uang, pakai uang itu aja”.
“tapi itukan modal untuk membuat
warung toni”.
“ah, masa bodoh, toni pokoknya mau
dibeliin motor”. Toni merengek. Lastri hanya terdiam.
“kenapa ibu diam, toni bingung bu,
jangan – jangan toni bukan anak ibu ya !?”. plak!!, lastri menamparnya. Kemudian
toni menangis dan lari keluar rumah. Ia tak mengira kalau ibunya bisa
menamparnya. Ia tak ingin pulang, ia tak ingin bertemu ibunya untuk malam ini,
entah harus tidur dimana, yang penting ia tak ingin pulang.
Lastri kelepasan melayangkan
tangannya kepipi toni. Ia tak bermaksud seperti itu, ia hanya terdiam dan menyesal,
setelah toni meninggalkan rumah ia menagis. “aku mohon ton, kamu jangan bicara
seperti itu, itu sangat menyakitkan hati ibu, kamu mau bicara apa saja, tapi
jangan pernah menganggap ibu sebagai ibu angkat, itu sungguh menyakitkan hati
ibu”.
Sudah jam dua belas malam toni belum
pulang juga, lastri merasa khawatir kemudian ia mencari toni kepenjuru desa,
sampai ia menemukannya dipos kamling sedang tertidur. Ia duduk disebelahnya dan
menyelimutiya dengan selendang yang ia bawa, ia tak membangunkannya karena ia
takut jika toni terbangun ia akan lari lagi. Ia menemaninya sampai pagi, sampai
anak kesayangannya membuka matanya lagi. Toni terbangun dan sadar ibunya telah
ada disampingnya ia bergegas bangun.
“ibu sedang apa disini?, sana
pulang, bukankah ibu tidak sayang toni”. Lastri tersenyum dan berkata.
“ayo pulang, nanti ibu belikan motor”.
“benat bu?”. Toni terbelalak
kesenangan.
“iya”. Jawab lastri.
“asiiik, tapi ibu tidak bohong
seperti yang kemarin – kemarin kan? Awas kalau ibu bohong.”
“iya, ibu ndak bohong, ayo pulang”.
Siang harinya lastri bertanya – tanya
ketetangganya tentang orang yang mau menjual motor, setelah beberapa orang ia
tanyai ia menemukan informasi kalau ada saudara dari tetangganya akan menjual
motor. Kemudian lastri menemui orang yang akan menjual motor tersebut. Ia adalah
seorang pria beristri dua, dari tampangnya ia terlihat seperti preman, berambut
panjang dan dibebrapa lengannya bertato. Namanya Gito.
“harga motor ini berapa mas gito?”
“kalau sama neng, delapan juta aja
gak apa - apa”. Sambil senyum genit. Kalau bukan untuk anaknya pasti udah ia
tinggalkan nie orang.
“tapi aku hanya punya uang empat
juta, gimana mas?”. Kemudian gito terdiam dan berfikir sejenak, kemudia ia
berkata.
“yaudah ndak apa – apa, nanti kekurangannya
dicicil tiap bulan lima ratus ribu rupiah”. Kemudian lastri menyanggupinya.
“yaudah, terima kasih ya mas, oh
iya, tolong motornya dibawakan kerumah saya, soalnya saya ndak bisa naik motor”
“ndak bisa naik motor?. Lalu ngapain
beli motor?”.
“iya mas, itu untuk anak saya”.
Sepulang anaknya pulang dari sekolah
ia terkejut, ternyata ibunya benar – benar membelikannya motor, ia senang
kegirangan. Kemudian ia menjajal motornya keliling desa dan memamerkannya
kepada teman – temannya. Lastri senang melihat anaknya bahagia, yah walaupun
ndak tahu bagaimana carany membayar hutang. Belum lagi keinginannya untuk
membuka warung terpaksa ia urungkang.
Seminggu telah berlalu dan kini toni
sudah berskap membaik kepada ibunya. Ia pergi bermain bersama teman – temannya kekota.
Sebenarnya ibunya sudah melarang selain dikota jalanannya rame, ia juga
khawatir kalau – kalau toni kena tilang, namun yang paling khawatirkan jika
terjadi kecelakaan pada anak semata wayangnya. Namun toni tetap bersikukuh
untuk pergi. Sore harinya lastri mendapat kabar kalau toni kecelakaan, apa yang
ia khawatirkan ternyata terjadi. Ia bingung, ia gemetar, ia sedih, ia tak tahu
harus berbuat apa, ia menangis.
“sekarang toni dimana yun?”. Tanya lastri
pada yuni tetangga yang mengabari tentang kejadian itu.
“sekarang lagi dirumah sakit mbak yu”.
“ayo aku antar kesana yun”
Dengan terburu – buru lastri dan
yuni menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit ia melihat toni sedang
berbaring, dengan infus yang masih menancap ditangannya dan alat bantu oksigen
yang masih menempel dimulutnya. Ia sedih sekali melihat toni terbaring tak
berdaya. Ia mengelus – elus kepala toni seraya berkata. “ton, bangun. Ini ibu”.
Lastri hanya takut saja kalau – kalau anaknya tak pernah terbangun selamanya,
jika benar begitu ia tak tahu lagi harus menjalani kehidupan ini seperti apa,
karena toni adalah sumber semangat yang paling besar baginya. Kemudian dokter
datang menuju ruangan toni.
“ibunya toni ya?”. Tanya dokter
“iya dok” . jawab lastri.
“ehm, ibu bisa mohon keruangan saya
sebentar”.
“iya dokter”
Kemudian dokter meninggalkan ruang
rawat menuju meja kerjanya, sementara lastri mengikutinya dari belakang. Sesampainya
diruang dokter lastri dipersilahkan duduk dan doker menjelaskan tentang apa
yang terjadi pada doni, bahwa sekarang terjadi keretakan pada kepala doni, dan
doni terancam gagar otak. Jika hal itu tidak ditangani secara serius maka nyawa
doni bisa tidak tertolong karena ada gumpalan darah diotak doni. Lastri bingung
dan meminta solusi yang terbaik kepada dokter, dokter menyarankan untuk
melakukan operasi pada kepala doni. Dan itu membutuhkan persetujuan dari
keluarga serta harus melunasi administrasi yang pastinya tidak murah. Lastri semakin
bingung, apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia pulang untuk meminta bantuan
kepada sanak saudara dan tetangga untuk meminjam ia, meski ia sudah mendapat
pinjaman banyak namun tetap saja masih kurang “ya Allah, kenapa kau timpakan
ujian yang begitu berat kepadaku?, aku mohon berikanlah solusi yang terbaik”. malam
ini ia menginap dirumah sakit bersama doni, barang kali saja doni terbangun. Namun
sepertinya doni masih belum mau membukakan matanya. Pagi – pagi buta lastri
pulang namun ia tak sempat mengurusi dagangannya karena ada hal yang lebih
penting dari itu, sekarang sudah jam delapan
lebih dan ia harus menuju rumah sakit dahulu. Namun sebelum ia pergi ada
seorang laki – laki yang mengetuk pintunya, ternyata itu adalah mas gito,
lastri mempersilahkan masuh dan menyuguhi mas gito dengan minuman teh anget. Kemudian
gito menjelaskan perihak kedatangannya kalau ia mau meminta uang karena ini
sudah jatuh tempo pembayaran. Oh iya, lastri lupa kalau hari ini adalah tempo
untuk membayar cicilan motor, tentu saja ia tak bisa membayarnya sekarang, ia
kemudian menceritakan perihal yang terjadi pada dirinya saat ini, ia berharap
mas gito mau mengerti. Namun sepertinya itu salah dan mas gito marah.
“kamu kira hanya kamu yang punya
keperluan, aku juga punya, istriku butuh makan dan anakku juga”.
“tapi maaf mas, untuk kali ini saya
tidak bisa membayarnya, mohon pengertiannya”. Teselinap pikiran kotor diotak
gito untuk memanfaatkan situasi ini.
“Ok, saya akan menganggap lunas, dan akan membantu pengobatan anakmu, tapi
dengan syarat”.
“syaratnya apa mas?”.
“kamu harus melayaniku selama satu
minggu”. Lastri kaget dengan syarat yang diajukan oleh mas gito, Namun ia harus
bagaimana lagi, tak ada cara untuk menolak semua itu. Sekarang yang ia butuhkan
adalah doni bisa segera sembuh.
Ternyata mas gito benar – benar membantu
pengobatan anaknya dan ia harus rela melayani si lelaki bejat itu. Setiap ia
tersadar ia sangat merasa sangat hina, ia menangis, dan memandang foto yang
terpampang ditembok rumahnya, kartini. Ia tahu sosok itu adalah sosok yang
mulia, pengubah derajat wanita suapaya wanita tidak dipandang sebelah mata. Tapi
sekarang ia tak berdaya. “Aku bukan kartini yang dapat menjunjung tinggi harkat
dan martabat wanita. Aku adalah seorang ibu yang ingin anaknya tetap hidup”.
Siangnya doni dioperasi dan operasi
berjalan cukup lancar, namun ada yang kurang, stok darah O dirumah sakit itu
habis, terpaka tim rumah sakit harus mencari pendonor. Namun tak ada yang cocok
golongan darahnya. Mengetahui hal itu lastri kemudian mengajukan diri, golongan
darah lastri cocok dengan golongan darah anaknya. Dan proses pendonoran
dilakukan.
“ambillah sebanyak – banyaknya suster,
kalau perlu sampai habis, asalkan anakku bisa selamat”.
“iya bu, kami akan menjalankan
sesuai prosedur batas pengambilan darah”.
Setelah proses pendonoran darah selesai
kemudian operasi dilanjutkan kembali dan sekarang operasi berjalan sukses, Namun
di balik pintu sana lastri sedang terbaring tak berdaya dan penyakit lama
lastri kumat lagi. Dan akhirnya lastri menutup matanya selama - lamanya.
Dua hari telah berlalu doni membuka
matanya, orang yang selama ini menemaninya kini tak ada disampingnya. “jahat
sekali ibu, kenapa ia tidak menemaniku”. Yuni tetangga dekatnya malah yang
menemaninya.
“ibu dimana?”.
Dengan berlinang air mata yuni
menjawab.
“ibumu sedang dirumah, sebentar lagi
juga kesini”. Yuni tak mau jika kabar tentang ibunya ia dengar sekarang akan
mengganggu kesehatannya. Namun doni tak begitu menghiraukannya, kemudian ia
tidur lagi. Beberapa jam telah berlalu, dan ia terbangun. Namun yang ada
disebelahnya bukan ibunya, melainkan masih tetap sama, yaitu tante yuni.
“ibu belum datang, tante?”. Belum,
mungkin masih diperjalanan. Doni mencoba menerima semua itu sampai keesokan
harinya dia tak pernah melihat sesosok wnita yang telah ia nanti – nantikan.
“apa ibu sudah tak sayang doni lagi,
kenapa ibu tak pernah menjenguk doni”.
“tidak doni, ibu doni sangat sayang
doni”. Kemudian air yang telah ia bendung tak dapat ia tahan lagi, yuni
meneteskan air mata namun segera ia usap.
“kenapa tante menangis, sebenarnya
apa yang terjadi pada ibu?”. Yuni tak bisa menjawab semua itu, kemudian ia
keluar dari rumah ruangan dan menangis, ia tak tega saja anak sekecil doni
sudah kehilangan kedua orang tuanya.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa
tante yuni menangis setiap aku bertanya tentang ibu? Dan kemana ibu? Kenapa ia
tak menemaniku?. ”. kemudian yuni masuk
keruang rawat lagi sekarang ia akan menampakkan mukanya yang tegar seperti
lastri, ia mencoba tersenyum pada doni.
“kamu mau makan buah don?, biar
tante yang nyuapin”.
“aku mau ibu tante, dimana dia?”. Sekarang
mungkin saatnya bagi yuni mengungkapkan apa yang ia terjadi, karena semkin ia
berbohong pada doni maka itu adalah siksaan bagi dirinya.
“ibumu telah meninggal don”.
“apa?. Tante bohong kan?. Jangan bercanda
tante, tante bohong kan !”.
Yuni hanya menggelengkan kepala, ia
tak bisa berucap. Kemudian getaran – getaran yang tadi kecil telah mengguncang
tubuh doni, ia menumpahkan rasa kesedihannya. Doni tak bisa berbuat apa – apa,
sekarang ia sadar, bahwa ibunya yang selama ini mencintanya telah tiada. “aku
belum membahagiakan ibu, aku belum sempat berterima kasih padanya, aku belum
sempat mencium pipinya, aku belum sempat meminta maaf padanya, aku belum sempat
memberinya hadiah karena aku kecelakaan. Ibu....aku menyayangimu”. Kini yang
tinggal hanya penyesalan.
0 comments:
Post a Comment