Pages

Monday, November 5, 2012

AKU BUKAN KARTINI












“Aku bukan kartini yang dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Aku adalah seorang ibu yang ingin anaknya tetap hidup”


 
Tanah masih basah setelah tadi malam terguyur oleh hujan yang cukup lebat. Kabut masih terlihat melekat menyeimuti jalan – jalan desa yang cukup sepi ini. Tetesan embun mengalir bersama peluh yang keluar dari kening seorang ibu yang baru saja ditinggal suaminya empat bulan yang lalu. ia sudah memulai pekerjaanya dari dini hari sebelum ayam berkokok. Sulastri, orang – orang biasa memanggilnya dengan nama lastri.
Semenjak suaminya meninggal ia harus bekerja keras menghidupi anaknya yang masih berusia empat belas tahun. Sekarang ia kelas satu sekolah menengah pertama. Mulanya bekerja serabutan sebagai pembantu, sebagai penjual makanan keliling bahkan ia pernah menjadi penambang pasir. Maklum mayoritas didesa itu orang – orangnya dari perekonomian menengah kebawah. Lastri kerap kerepotan jika anaknya menginginkan ini itu, namun ia jawab saja dengan mengiyakan permintaan anaknya, walaupun ujung – ujungnya tidak pernah terwujud. Sebenarnya seorang ibu mana yang tak ingin mewujudkan apa yang diinginkan anaknya. Ia sudah berusaha, namun apa daya untuk makan sehari – hari dan menyekolahkan anaknya saja sudah dirasa susah. Adzan subuh berkumandang didapur yang kecil itu sudah mengepul asap dari lorong – lorong tungku yang panas. Sekarang sehari – harinya sulastri bekerja menjadi penjual makanan keliling, tidak banyak yang ia jual, ia hanya menjual pecel, beberapa gorengan  dan sate telur puyuh. Setelah menyiapkan dagangannya sekarang ia ganti menyiapkan anaknya untuk berangkat sekolah. toni, anaknya memang anak yang bandel dan pemalas, sehingga untuk bangun saja toni harus dibangunkan oleh ibunya berulang – ulang. “toni bangun, sudah siang, ayo berangkat sekolah”.
“ngak mau, males”. Jawabnya
“kenapa bicara seperti itu”.
“ah bawel, toni males, masa sepatu toni udah dekil seperti itu ibu tidak mau membelikannya lagi, toni malu !”.
“toni, mengertilah perekonomian kita kan sedang sedikit, semenjak ayahmu meninggal ibu harus bekerja keras untuk menyekolahkanmu, lagian sepatunya kan masih bisa dipakai”.
“ahhh..,berisik, ibu keluar”. Dengan mendorong ibuny keluar kamar.
Lastri hanya bisa mengelus dada jika anaknya sedang kumat seperti ini. Namun kehidupan tidak akan berubah jika ia tetap saja diam. Kemudian ia membawa barang dagangannya yang tadi sudah ia siapkan keliling kedesa – desa. Untuk saat ini ia berdagang dengan cara keliling namun ia mempunyai harapan nantinya mau membangun suatu warung kecil didekat pasar, kaena dirasa pasar adalah tempat keramaian dan ia yakin dagangannya akan laku keras disana. Namun biaya sewa tanah yang cukup mahal sering menggoyahkan keinginan lastri. terik panas matahari menyengat kulitnya, yang dahulu kuning langsat sekarang sudah agak memudar menjadi kehitaman. Ia tak peduli semua itu yang ia tahu ia harus menyambung nyawa demi dirinya dan demi anaknya tercinta. Ia pulang sekitar jam lima sore, dan dagangannya hari ini cukup laris. Namun setelah sampai dirumah tak ada seorangpun dirumah. “toni kemana ya”, gumamnya. Kemudian ia membuka celengannya , isinya sudah lumayan banyak karena setiap keuntungan dari penjualan selalu ia sisihkan demi masa depan anaknya. “sepertinya sudah bisa untuk menyewa tanah dipasar dan membuat warung disana”.
“Assalamu’alaikum”
“Waalaikum salam, eh toni dari mana saja kamu?. Ibu sudah menantimu dari tadi”.
“apa itu bu?”.
“oh ini, celengan buat warung ibu dagang dipasar”.
“untuk warung aja ibu punya uang, untuk beli sepatu ngak ada, ibu jahat !”. toni berlari kekamarnya dan menutup pintu dengan keras (brak!!).
“toni, toni..maafkan ibu toni”.
Toni kemudian menangis dikamar, ia merasa seakan ibunya tak pernah menyayanginya beberapa kali ibunya mengetuk pintu dan meminta maaf, namun ia tak mau membukanya. Bahkan sempat terselinap dibenak pikirannya bahwa ia adalah anak angkat. Ia hanya terdiam dan meratpi keadaanya saat ini. Sekali lagi lastri mencoba bersabar dengan semua ini.
Malam kian larut, dan ia tak lupa untuk melakukan sholat malam, dalam doanya ia meminta untuk kesehatan keluarganya, rezeki yang halal dan yang baik, dan semoga Allah membukakan pengertian toni akan keadaan keluarganya sekarang. “Ya Allah...,aku tidak pernah memaksamu untuk menuruti permintaanku, namun kali ini saja ya Allah, aku mohon bukakanlah pintu hati toni, buatlah ia mengerti akan arti cintaku padanya. Hatiku remuk ketika aku tak bisa memenuhi permintaanya, jiwaku sakit ketika aku melihatnya menangis, kabulkanlah ya Allah”.
Keesokan harinya lastri membelikan sepatu baru, sengaja ia pulang cepat supaya ia sampai rumah sebelum anaknya pulang. Ia ingin memberikan kejutan pada toni tentang sepatu barunya hari  ini. Tak lama kemudian toni pulang. Ibunya menyambutnya dengan senyuman hangat, namun bagi toni itu tak berpengaruh.
“toni, coba lihat apa yang ibu bawa”. Sambil menyodorkan bingkisan yang ada ditangannya.
“apa itu?”. Tanya toni.
“coba dibuka saja”. Kemudian toni mengambil dan membuka bingkisan itu. Namun dengan kejam toni membuangnya.
“apa itu sepatu murah kayak gitu, toni gak suka”.
Lastri mengambil sepatunya dan mencoba menyakinkan toni kalau sepatu itu bagus. Namun toni tetap bersikeras untuk tidak menerimanya.
“ibu, pokoknya toni minta motor, masak temen – temen yang lain sudah pada punya motor toni belum punya, kan jauh bu kalau jalan kaki”.
“kamukan masih kecil, bahaya kalau naik motor”.
“aaahh, bilang saja kalau ibu ndak mau membelikan !”.
“uang dari mana untuk membeli motor toni”.
“kemarin kan dicelengan ibu, udah banyak uang, pakai uang itu aja”.
“tapi itukan modal untuk membuat warung toni”.
“ah, masa bodoh, toni pokoknya mau dibeliin motor”. Toni merengek. Lastri hanya terdiam.
“kenapa ibu diam, toni bingung bu, jangan – jangan toni bukan anak ibu ya !?”. plak!!, lastri menamparnya. Kemudian toni menangis dan lari keluar rumah. Ia tak mengira kalau ibunya bisa menamparnya. Ia tak ingin pulang, ia tak ingin bertemu ibunya untuk malam ini, entah harus tidur dimana, yang penting ia tak ingin pulang.
Lastri kelepasan melayangkan tangannya kepipi toni. Ia tak bermaksud seperti itu, ia hanya terdiam dan menyesal, setelah toni meninggalkan rumah ia menagis. “aku mohon ton, kamu jangan bicara seperti itu, itu sangat menyakitkan hati ibu, kamu mau bicara apa saja, tapi jangan pernah menganggap ibu sebagai ibu angkat, itu sungguh menyakitkan hati ibu”.
Sudah jam dua belas malam toni belum pulang juga, lastri merasa khawatir kemudian ia mencari toni kepenjuru desa, sampai ia menemukannya dipos kamling sedang tertidur. Ia duduk disebelahnya dan menyelimutiya dengan selendang yang ia bawa, ia tak membangunkannya karena ia takut jika toni terbangun ia akan lari lagi. Ia menemaninya sampai pagi, sampai anak kesayangannya membuka matanya lagi. Toni terbangun dan sadar ibunya telah ada disampingnya ia bergegas bangun.
“ibu sedang apa disini?, sana pulang, bukankah ibu tidak sayang toni”. Lastri tersenyum dan berkata.
“ayo pulang, nanti ibu belikan motor”.
“benat bu?”. Toni terbelalak kesenangan.
“iya”. Jawab lastri.
“asiiik, tapi ibu tidak bohong seperti yang kemarin – kemarin kan? Awas kalau ibu bohong.”
“iya, ibu ndak bohong, ayo pulang”.
Siang harinya lastri bertanya – tanya ketetangganya tentang orang yang mau menjual motor, setelah beberapa orang ia tanyai ia menemukan informasi kalau ada saudara dari tetangganya akan menjual motor. Kemudian lastri menemui orang yang akan menjual motor tersebut. Ia adalah seorang pria beristri dua, dari tampangnya ia terlihat seperti preman, berambut panjang dan dibebrapa lengannya bertato. Namanya Gito.
“harga motor ini berapa mas gito?”
“kalau sama neng, delapan juta aja gak apa - apa”. Sambil senyum genit. Kalau bukan untuk anaknya pasti udah ia tinggalkan nie orang.
“tapi aku hanya punya uang empat juta, gimana mas?”. Kemudian gito terdiam dan berfikir sejenak, kemudia ia berkata.
“yaudah ndak apa – apa, nanti kekurangannya dicicil tiap bulan lima ratus ribu rupiah”. Kemudian lastri menyanggupinya.
“yaudah, terima kasih ya mas, oh iya, tolong motornya dibawakan kerumah saya, soalnya saya ndak bisa naik motor”
“ndak bisa naik motor?. Lalu ngapain beli motor?”.
“iya mas, itu untuk anak saya”.
Sepulang anaknya pulang dari sekolah ia terkejut, ternyata ibunya benar – benar membelikannya motor, ia senang kegirangan. Kemudian ia menjajal motornya keliling desa dan memamerkannya kepada teman – temannya. Lastri senang melihat anaknya bahagia, yah walaupun ndak tahu bagaimana carany membayar hutang. Belum lagi keinginannya untuk membuka warung terpaksa ia urungkang.
Seminggu telah berlalu dan kini toni sudah berskap membaik kepada ibunya. Ia pergi bermain bersama teman – temannya kekota. Sebenarnya ibunya sudah melarang selain dikota jalanannya rame, ia juga khawatir kalau – kalau toni kena tilang, namun yang paling khawatirkan jika terjadi kecelakaan pada anak semata wayangnya. Namun toni tetap bersikukuh untuk pergi. Sore harinya lastri mendapat kabar kalau toni kecelakaan, apa yang ia khawatirkan ternyata terjadi. Ia bingung, ia gemetar, ia sedih, ia tak tahu harus berbuat apa, ia menangis.
“sekarang toni dimana yun?”. Tanya lastri pada yuni tetangga yang mengabari tentang kejadian itu.
“sekarang lagi dirumah sakit mbak yu”.
“ayo aku antar kesana yun”
Dengan terburu – buru lastri dan yuni menuju rumah sakit. Sesampainya dirumah sakit ia melihat toni sedang berbaring, dengan infus yang masih menancap ditangannya dan alat bantu oksigen yang masih menempel dimulutnya. Ia sedih sekali melihat toni terbaring tak berdaya. Ia mengelus – elus kepala toni seraya berkata. “ton, bangun. Ini ibu”. Lastri hanya takut saja kalau – kalau anaknya tak pernah terbangun selamanya, jika benar begitu ia tak tahu lagi harus menjalani kehidupan ini seperti apa, karena toni adalah sumber semangat yang paling besar baginya. Kemudian dokter datang menuju ruangan toni.
“ibunya toni ya?”. Tanya dokter
“iya dok” . jawab lastri.
“ehm, ibu bisa mohon keruangan saya sebentar”.
“iya dokter”
Kemudian dokter meninggalkan ruang rawat menuju meja kerjanya, sementara lastri mengikutinya dari belakang. Sesampainya diruang dokter lastri dipersilahkan duduk dan doker menjelaskan tentang apa yang terjadi pada doni, bahwa sekarang terjadi keretakan pada kepala doni, dan doni terancam gagar otak. Jika hal itu tidak ditangani secara serius maka nyawa doni bisa tidak tertolong karena ada gumpalan darah diotak doni. Lastri bingung dan meminta solusi yang terbaik kepada dokter, dokter menyarankan untuk melakukan operasi pada kepala doni. Dan itu membutuhkan persetujuan dari keluarga serta harus melunasi administrasi yang pastinya tidak murah. Lastri semakin bingung, apa yang harus ia lakukan. Kemudian ia pulang untuk meminta bantuan kepada sanak saudara dan tetangga untuk meminjam ia, meski ia sudah mendapat pinjaman banyak namun tetap saja masih kurang “ya Allah, kenapa kau timpakan ujian yang begitu berat kepadaku?, aku mohon berikanlah solusi yang terbaik”. malam ini ia menginap dirumah sakit bersama doni, barang kali saja doni terbangun. Namun sepertinya doni masih belum mau membukakan matanya. Pagi – pagi buta lastri pulang namun ia tak sempat mengurusi dagangannya karena ada hal yang lebih penting dari itu,  sekarang sudah jam delapan lebih dan ia harus menuju rumah sakit dahulu. Namun sebelum ia pergi ada seorang laki – laki yang mengetuk pintunya, ternyata itu adalah mas gito, lastri mempersilahkan masuh dan menyuguhi mas gito dengan minuman teh anget. Kemudian gito menjelaskan perihak kedatangannya kalau ia mau meminta uang karena ini sudah jatuh tempo pembayaran. Oh iya, lastri lupa kalau hari ini adalah tempo untuk membayar cicilan motor, tentu saja ia tak bisa membayarnya sekarang, ia kemudian menceritakan perihal yang terjadi pada dirinya saat ini, ia berharap mas gito mau mengerti. Namun sepertinya itu salah dan mas gito marah.
“kamu kira hanya kamu yang punya keperluan, aku juga punya, istriku butuh makan dan anakku juga”.
“tapi maaf mas, untuk kali ini saya tidak bisa membayarnya, mohon pengertiannya”. Teselinap pikiran kotor diotak gito untuk memanfaatkan situasi ini.
“Ok, saya akan menganggap lunas,  dan akan membantu pengobatan anakmu, tapi dengan syarat”.
“syaratnya apa mas?”.
“kamu harus melayaniku selama satu minggu”. Lastri kaget dengan syarat yang diajukan oleh mas gito, Namun ia harus bagaimana lagi, tak ada cara untuk menolak semua itu. Sekarang yang ia butuhkan adalah doni bisa segera sembuh.
Ternyata mas gito benar – benar membantu pengobatan anaknya dan ia harus rela melayani si lelaki bejat itu. Setiap ia tersadar ia sangat merasa sangat hina, ia menangis, dan memandang foto yang terpampang ditembok rumahnya, kartini. Ia tahu sosok itu adalah sosok yang mulia, pengubah derajat wanita suapaya wanita tidak dipandang sebelah mata. Tapi sekarang ia tak berdaya. “Aku bukan kartini yang dapat menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita. Aku adalah seorang ibu yang ingin anaknya tetap hidup”.
Siangnya doni dioperasi dan operasi berjalan cukup lancar, namun ada yang kurang, stok darah O dirumah sakit itu habis, terpaka tim rumah sakit harus mencari pendonor. Namun tak ada yang cocok golongan darahnya. Mengetahui hal itu lastri kemudian mengajukan diri, golongan darah lastri cocok dengan golongan darah anaknya. Dan proses pendonoran dilakukan.
“ambillah sebanyak – banyaknya suster, kalau perlu sampai habis, asalkan anakku bisa selamat”.
“iya bu, kami akan menjalankan sesuai prosedur batas pengambilan darah”.
Setelah proses pendonoran darah selesai kemudian operasi dilanjutkan kembali dan sekarang operasi berjalan sukses, Namun di balik pintu sana lastri sedang terbaring tak berdaya dan penyakit lama lastri kumat lagi. Dan akhirnya lastri menutup matanya selama - lamanya.
Dua hari telah berlalu doni membuka matanya, orang yang selama ini menemaninya kini tak ada disampingnya. “jahat sekali ibu, kenapa ia tidak menemaniku”. Yuni tetangga dekatnya malah yang menemaninya.
“ibu dimana?”.
Dengan berlinang air mata yuni menjawab.
“ibumu sedang dirumah, sebentar lagi juga kesini”. Yuni tak mau jika kabar tentang ibunya ia dengar sekarang akan mengganggu kesehatannya. Namun doni tak begitu menghiraukannya, kemudian ia tidur lagi. Beberapa jam telah berlalu, dan ia terbangun. Namun yang ada disebelahnya bukan ibunya, melainkan masih tetap sama, yaitu tante yuni.
“ibu belum datang, tante?”. Belum, mungkin masih diperjalanan. Doni mencoba menerima semua itu sampai keesokan harinya dia tak pernah melihat sesosok wnita yang telah ia nanti – nantikan.
“apa ibu sudah tak sayang doni lagi, kenapa ibu tak pernah menjenguk doni”.
“tidak doni, ibu doni sangat sayang doni”. Kemudian air yang telah ia bendung tak dapat ia tahan lagi, yuni meneteskan air mata namun segera ia usap.
“kenapa tante menangis, sebenarnya apa yang terjadi pada ibu?”. Yuni tak bisa menjawab semua itu, kemudian ia keluar dari rumah ruangan dan menangis, ia tak tega saja anak sekecil doni sudah kehilangan kedua orang tuanya.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tante yuni menangis setiap aku bertanya tentang ibu? Dan kemana ibu? Kenapa ia tak menemaniku?. ”.  kemudian yuni masuk keruang rawat lagi sekarang ia akan menampakkan mukanya yang tegar seperti lastri, ia mencoba tersenyum pada doni.
“kamu mau makan buah don?, biar tante yang nyuapin”.
“aku mau ibu tante, dimana dia?”. Sekarang mungkin saatnya bagi yuni mengungkapkan apa yang ia terjadi, karena semkin ia berbohong pada doni maka itu adalah siksaan bagi dirinya.
“ibumu telah meninggal don”.
“apa?. Tante bohong kan?. Jangan bercanda tante, tante bohong kan !”.
Yuni hanya menggelengkan kepala, ia tak bisa berucap. Kemudian getaran – getaran yang tadi kecil telah mengguncang tubuh doni, ia menumpahkan rasa kesedihannya. Doni tak bisa berbuat apa – apa, sekarang ia sadar, bahwa ibunya yang selama ini mencintanya telah tiada. “aku belum membahagiakan ibu, aku belum sempat berterima kasih padanya, aku belum sempat mencium pipinya, aku belum sempat meminta maaf padanya, aku belum sempat memberinya hadiah karena aku kecelakaan. Ibu....aku menyayangimu”. Kini yang tinggal hanya penyesalan.



0 comments:

Post a Comment