Oleh :
Muhammad Alwi Sofwan
“kau tahu
ini bulan apa? Ini adalah bulan ramadhan, bulan yang penuh berkah, bulan yang
penuh ampunan, dan bulan suci yang tak ada keraguan atasnya. Jadi, muliakanlah
bulan ramadhan ini dan jangan pernah mengotorinya. “. Kata itu masih terdengar
segar ditelingaku. Kata yang keluar dari hati seorang Ibu yang penuh kasih
sayang, yang mengajari semua hal didunia ini tentang kebaikan. Aku mencoba
menyelami masa itu, masa dimana aku masih begitu dekat dengan seseorang
malaikat yang selalu menjagaku. semakin aku mengorek-orek memori di sel-sel
otakku tentang kenangan indahnya
ramadhan bersama keluarga, semakin menggunung keinginanku untuk melewatinya dengan keluargaku. Aku rasa tidak ada ruginya meluangkan waktu sebulan untuk fokus beribadah bersama keluarga dari pekerjaan kantorku disebuah perusahaan yang cukup besar di Jakarta.
ramadhan bersama keluarga, semakin menggunung keinginanku untuk melewatinya dengan keluargaku. Aku rasa tidak ada ruginya meluangkan waktu sebulan untuk fokus beribadah bersama keluarga dari pekerjaan kantorku disebuah perusahaan yang cukup besar di Jakarta.
Segelas kopi
masih mengepul diatas meja kerjaku, hangat dan menyegarkan mataku yang sedari
tadi sudah kelelahan memelototi monitor komputer. kupalingkan wajahku pada jam
dinding kantor yang terletak persis didepan mejaku, waktu sudah menunjukkan jam
sebelas malam, dan pekerjaanku masih banyak yang belum selesai. Otakku rasanya
sudah tak sanggup lagi ku peras, untuk menghasilkan ide-ide yang cemerlang. Aku
lelah.
Aku keluar
dari kantor, melihat gemerlapnya malam hari di jakarta. Disini semuanya lengkap,
dari mulai gedung pencakar langit sampai rumah kardus. Dari mulai supermarket
sampai pedagang keliling. Aku berdiri persis dipinggir jalan depan kantor, di
ujung jalan terlihat pemuda pemudi yang sedang berpacaran, di kanan jalan
terlihat sebuah bar yang cukup besar, di kiri jalan terlihat tempat karaoke
yang gemerlap dengan lampu yang kerlap-kerlip bak bintang kejora yang selalu
bersinar. Heran saja, kenapa disini pergaulan begitu bebas, tidak seperti di
kampungku. Ah, diam-diam aku juga merindukan kampungku.
Udara dingin
mulai menyerang kulitku, dagingku, sampai ke tulangku. Sendirian diluar memang
terasa membosankan. Dari kejauhan nampak
sesosok laki-laki berjalan dengan pelan. Aku merasa tak asing dengan cara
berjalan itu. Tapi siapa? Membuatku penasaran saja. Aku berjalan menuju kearahnya, dan setelah
kami dekat, aku berhenti. Aku ingin memastikan bahwa itu benar-benar sahabatku.
“RIO”, sahutku pelan. Ia berhenti, wajahnya yang lesu memandangku penasaran.
“ARI”, itukah kau?. “iya benar ini aku”. Subhanallah dimalam ramadhan yang
penuh nikmat ini, aku bertemu dengan sahabat lamaku. Aku mengajaknya kekantorku
untuk sekedar melepas lelah, aku tahu, dia sangat kelelahan. Entah apa yang
terjadi, tapi aku yakin, ia sekarag berada pada situasi yang sulit.
Kusodorkan
segelas kopi di meja, ia menyeruputnya dengan pelan. “Rio, bagaimana kau sampai
disini? “. Aku membuka percakapan. Mulutnya bergeming, raut wajahnya pucat,
setelah beberapa saat ia menjawab “Ri, aku kesini mencarimu”. “kenapa?”
sahutku. Ia terdiam, kulihat matanya berkaca, semakin lama kaca itu berubah
menjadi setetes embun hangat yang mengalir diatas lekukan pipi yang lusuh itu.
Sekarang tubuhnya bergetar. “Rio, kenapa kau menangis?”. Tanyaku pelan. “Ar,
desa terkena musibah banjir bandang”. Jawabnya dengan tersedu. Aku kaget,
dengan apa yang ia katakan. “bagaimana nasib keluargaku disana?”. Tanyaku
penasaran. “keluargamu Alhamdulillah selamat semua Ri”. Setidaknya aku cukup
lega mendengar jawaban itu. “Baiklah kalau begitu besok kita pulang kedesa
bersama-sama ya, aku akan mengambil cuti. keluargamu selamat juga kan?”. Ia
terdiam, sedikit kesenyapan yang menggetar. Setelah beberapa lama ia menjawab
“Allah telah memanggil mereka Ar”. “Innalillahi, aku turut berduka Ri”. Aku
mendekap tubuhnya yang kurus, aku ingin menabahkannya. Tak terasa, air mata
berselancar indah di pipiku. Kami berdua menagis. Tak kusangka bulan Ramadhan
kali ini, kulalui dengan warna yang kelam.
*****
Sayup-sayup
terdengar suara adzan subuh berkumandang. Aku terbangun. Apa, sudah subuh?.
Yah, ndak sahur lagi nih. Ini nih, repotnya kalau belum punya istri. Ndak ada
yang bangunin sahur. Tapi, bukankah tadi malam aku bersama Rio, dimana dia? Kok
tidak ada dikamar. Apa dia sedang dikamar mandi? Atau, dia sedang keluar
mencari udara segar? Aku panggil-panggil, tapi ia tidak menyahutnya. Sudahlah,
aku mau mengambil air wudlu dulu. Setelah itu bersimpuh sujud menghadap sang
Illahi.
Setelah
sholat selesai, tadarusan Al-Qur’an dulu beberapa ayat. Sungguh nikmat sekali
rasanya membaca Al-Qur’an dipagi buta seperti ini. Memang benar, Al-Qur’an
adalah pengobat hati yang paling manjur. Selesai tadarusan, kuletakkan ayat
suci itu diatas meja. Pikiranku masih terusik, dimana sih Rio, kok ia ndak
nongol-nongol. Aku mencoba mencarinya kesudut-sudut rumah, diluar rumah, dan
beberapa tempat. Tetap saja, tak bisa kutemukan. “ Apa dia sudah pulang? “.
Gumamku. Tapi kalau dia sudah pulang, kok tidak berpamitan. Ah, mungkin saja ia
sedang jalan-jalan. Apa mungkin kejadian
tadi malam adalah mimpi?. Aku mencoba menepis prasangka buruk tentangnya.
Sembari
mempersiapkan perlengkapan untuk pulang, aku duduk diruang tengah, tanganku
memencet sebuah tombol merah, menyalakan televisi. Biasanya, saat-saat bulan
Ramadhan seperti ini acara televisi banyak yang menyuguhkan berita tentang
islam, dan menambah wawasan tentang isalam. Seketika layar televisi menunjukkan
sebuah berita, Berita tentang banjir. Setelah kubaca tagline yang ada
dibgian bawah layar, aku sontak terkejut. Banjir terjadi di desaku. Kejadian
itu terjadi pukul tujuh malam. Allah, kuatkan hatiku. Semua perhatianku tertuju pada layar kaca
itu, beberapa orang terlihat tergeletak tak berdaya dihempas oleh banjir yang
datang secara tiba-tiba.
Aku
mengambil handphne yang berdering diatas kasur. Dan ternyata itu dari
keluargaku. semua keluargaku selamat, dan mereka diungsikan dirumah kerabat
dekat yang aman dari banjir. Setidaknya aku merasa lega sedikit. Aku sudah
mempersiapkan semua yang aku butuhkan untuk kembali ke desa. Sekarang tinggal
menunggu Rio. Tapi dimana dia? Dia lama sekali. Sembari menunggunya, aku
menonton televisi lagi. Beberapa channel televisi menyuguhkan berita
tentang banjir tersebut. Sampai aku melihat hal yang sangat aneh.
Sesosok
lelaki berwajah pucat, bertubuh kurus yang tadi malam menemuiku tergeletak tak
berdaya. Aku menangis, tubuhku terguncang hebat.
Semarang,
25 mei 2013
0 comments:
Post a Comment