Pages

Friday, May 24, 2013

Warna Kelam Ramadhanku



Oleh : Muhammad Alwi Sofwan
“kau tahu ini bulan apa? Ini adalah bulan ramadhan, bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh ampunan, dan bulan suci yang tak ada keraguan atasnya. Jadi, muliakanlah bulan ramadhan ini dan jangan pernah mengotorinya. “. Kata itu masih terdengar segar ditelingaku. Kata yang keluar dari hati seorang Ibu yang penuh kasih sayang, yang mengajari semua hal didunia ini tentang kebaikan. Aku mencoba menyelami masa itu, masa dimana aku masih begitu dekat dengan seseorang malaikat yang selalu menjagaku. semakin aku mengorek-orek memori di sel-sel otakku tentang kenangan indahnya
ramadhan bersama keluarga, semakin menggunung keinginanku untuk melewatinya dengan keluargaku. Aku rasa tidak ada ruginya meluangkan waktu sebulan untuk fokus beribadah bersama keluarga dari pekerjaan kantorku disebuah perusahaan yang cukup besar di Jakarta.
Segelas kopi masih mengepul diatas meja kerjaku, hangat dan menyegarkan mataku yang sedari tadi sudah kelelahan memelototi monitor komputer. kupalingkan wajahku pada jam dinding kantor yang terletak persis didepan mejaku, waktu sudah menunjukkan jam sebelas malam, dan pekerjaanku masih banyak yang belum selesai. Otakku rasanya sudah tak sanggup lagi ku peras, untuk menghasilkan ide-ide yang cemerlang. Aku lelah.
Aku keluar dari kantor, melihat gemerlapnya malam hari di jakarta. Disini semuanya lengkap, dari mulai gedung pencakar langit sampai rumah kardus. Dari mulai supermarket sampai pedagang keliling. Aku berdiri persis dipinggir jalan depan kantor, di ujung jalan terlihat pemuda pemudi yang sedang berpacaran, di kanan jalan terlihat sebuah bar yang cukup besar, di kiri jalan terlihat tempat karaoke yang gemerlap dengan lampu yang kerlap-kerlip bak bintang kejora yang selalu bersinar. Heran saja, kenapa disini pergaulan begitu bebas, tidak seperti di kampungku. Ah, diam-diam aku juga merindukan kampungku.
Udara dingin mulai menyerang kulitku, dagingku, sampai ke tulangku. Sendirian diluar memang terasa membosankan.  Dari kejauhan nampak sesosok laki-laki berjalan dengan pelan. Aku merasa tak asing dengan cara berjalan itu. Tapi siapa? Membuatku penasaran saja.  Aku berjalan menuju kearahnya, dan setelah kami dekat, aku berhenti. Aku ingin memastikan bahwa itu benar-benar sahabatku. “RIO”, sahutku pelan. Ia berhenti, wajahnya yang lesu memandangku penasaran. “ARI”, itukah kau?. “iya benar ini aku”. Subhanallah dimalam ramadhan yang penuh nikmat ini, aku bertemu dengan sahabat lamaku. Aku mengajaknya kekantorku untuk sekedar melepas lelah, aku tahu, dia sangat kelelahan. Entah apa yang terjadi, tapi aku yakin, ia sekarag berada pada situasi yang sulit.
Kusodorkan segelas kopi di meja, ia menyeruputnya dengan pelan. “Rio, bagaimana kau sampai disini? “. Aku membuka percakapan. Mulutnya bergeming, raut wajahnya pucat, setelah beberapa saat ia menjawab “Ri, aku kesini mencarimu”. “kenapa?” sahutku. Ia terdiam, kulihat matanya berkaca, semakin lama kaca itu berubah menjadi setetes embun hangat yang mengalir diatas lekukan pipi yang lusuh itu. Sekarang tubuhnya bergetar. “Rio, kenapa kau menangis?”. Tanyaku pelan. “Ar, desa terkena musibah banjir bandang”. Jawabnya dengan tersedu. Aku kaget, dengan apa yang ia katakan. “bagaimana nasib keluargaku disana?”. Tanyaku penasaran. “keluargamu Alhamdulillah selamat semua Ri”. Setidaknya aku cukup lega mendengar jawaban itu. “Baiklah kalau begitu besok kita pulang kedesa bersama-sama ya, aku akan mengambil cuti. keluargamu selamat juga kan?”. Ia terdiam, sedikit kesenyapan yang menggetar. Setelah beberapa lama ia menjawab “Allah telah memanggil mereka Ar”. “Innalillahi, aku turut berduka Ri”. Aku mendekap tubuhnya yang kurus, aku ingin menabahkannya. Tak terasa, air mata berselancar indah di pipiku. Kami berdua menagis. Tak kusangka bulan Ramadhan kali ini, kulalui dengan warna yang kelam.
*****
Sayup-sayup terdengar suara adzan subuh berkumandang. Aku terbangun. Apa, sudah subuh?. Yah, ndak sahur lagi nih. Ini nih, repotnya kalau belum punya istri. Ndak ada yang bangunin sahur. Tapi, bukankah tadi malam aku bersama Rio, dimana dia? Kok tidak ada dikamar. Apa dia sedang dikamar mandi? Atau, dia sedang keluar mencari udara segar? Aku panggil-panggil, tapi ia tidak menyahutnya. Sudahlah, aku mau mengambil air wudlu dulu. Setelah itu bersimpuh sujud menghadap sang Illahi.
Setelah sholat selesai, tadarusan Al-Qur’an dulu beberapa ayat. Sungguh nikmat sekali rasanya membaca Al-Qur’an dipagi buta seperti ini. Memang benar, Al-Qur’an adalah pengobat hati yang paling manjur. Selesai tadarusan, kuletakkan ayat suci itu diatas meja. Pikiranku masih terusik, dimana sih Rio, kok ia ndak nongol-nongol. Aku mencoba mencarinya kesudut-sudut rumah, diluar rumah, dan beberapa tempat. Tetap saja, tak bisa kutemukan. “ Apa dia sudah pulang? “. Gumamku. Tapi kalau dia sudah pulang, kok tidak berpamitan. Ah, mungkin saja ia sedang jalan-jalan.  Apa mungkin kejadian tadi malam adalah mimpi?. Aku mencoba menepis prasangka buruk tentangnya.
Sembari mempersiapkan perlengkapan untuk pulang, aku duduk diruang tengah, tanganku memencet sebuah tombol merah, menyalakan televisi. Biasanya, saat-saat bulan Ramadhan seperti ini acara televisi banyak yang menyuguhkan berita tentang islam, dan menambah wawasan tentang isalam. Seketika layar televisi menunjukkan sebuah berita, Berita tentang banjir. Setelah kubaca tagline yang ada dibgian bawah layar, aku sontak terkejut. Banjir terjadi di desaku. Kejadian itu terjadi pukul tujuh malam. Allah, kuatkan hatiku.  Semua perhatianku tertuju pada layar kaca itu, beberapa orang terlihat tergeletak tak berdaya dihempas oleh banjir yang datang secara tiba-tiba.
Aku mengambil handphne yang berdering diatas kasur. Dan ternyata itu dari keluargaku. semua keluargaku selamat, dan mereka diungsikan dirumah kerabat dekat yang aman dari banjir. Setidaknya aku merasa lega sedikit. Aku sudah mempersiapkan semua yang aku butuhkan untuk kembali ke desa. Sekarang tinggal menunggu Rio. Tapi dimana dia? Dia lama sekali. Sembari menunggunya, aku menonton televisi lagi. Beberapa channel televisi menyuguhkan berita tentang banjir tersebut. Sampai aku melihat hal yang sangat aneh.
Sesosok lelaki berwajah pucat, bertubuh kurus yang tadi malam menemuiku tergeletak tak berdaya. Aku menangis, tubuhku terguncang hebat.


                                                                        Semarang, 25 mei 2013

0 comments:

Post a Comment